Rabu, 13 Juni 2012

MENCARI SUKSES PENDIDIKAN 1



Duh susahnya jadi pendidik di zaman ini. Guru mengeluh, orangtua mengeluh, gimana muridnya?”
Inilah realita kita sehari-hari. Tempo hari, berita repotnya UAN sudah jadi headline yang menggemaskan. Depdiknas repot, sekolah-sekolah repot, terakhir Detasemen 88 ikut repot. Yang penulis maksudkan sebagai repot di sini, benar-benar repot, kalau tidak bisa dikatakan nyaris bingung dan membingungkan orang lain.
Ada sejumlah orangtua ikut-ikutan stress karena anak mereka stress. “Abis gimana tokh Jeng, soal UAN itu ‘kan yang bikin bukan guru sekolahnya, tapi langsung dari Diknas, bisa aja nggak sesuai dengan yang sudah dipelajari anak kita?!”. “Gimana ya, kalau anak saya gak lulus gara-gara salah cara jawab?”. “Aku ngeri deh, ada anak sekolah sini, tahun lalu, gak lulus gara-gara 1 mata pelajaran jeblok, padahal mata pelajaran yang lain dia bagus, di atas rata-rata.” “Gimana kalau nilai UANnya jeblok sampai gak keterima di sekolah negeri?”
Sebentar lagi UAN akan menjadi headline media lagi. Setelah jeda dengan kehebohan naiknya harga BBM dan kemudian kasus “insiden Monas 1 Juni” yang pekan ini jadi primadona berita.
Sukses. Sukses zaman ini artinya: punya pendidikan tinggi, gaji besar, pekerjaan bergengsi. Semua nilai mata nominal (angka). Untuk sampai ke sana, anak sekarang harus berjuang menghadapi stress pendidikan sejak bangku sekolah dasar kelas satu, sampai 18 tahun atau lebih setelah itu, tergantung apakah ia sempat tinggal kelas atau tidak, atau apakah ia mau melanjutkan stressnya ke jenjang yang lebih tinggi atau tidak.
Untuk mengejar itu semua, anak-anak kita harus terus menerus ingat pelajaran sejak bangun tidur sampai tidur lagi. Kadang-kadang terbawa mimpi. Matematika, Geografi, Biologi, Kimia, Bahasa Inggris, dst, dst…itu igauan anak-anak kita setiap menjelang akhir tahun ajaran. Seberapa jauh itu bermanfaat untuk mereka?
Belum lama ini seseorang mencoba menguji nalar anaknya dengan mengajak membuat maket rumah. Anak yang sudah lulus SMA bersama adiknya yang masih SMA di tanya bagaimana membuat maket atap? Jawaban mereka: “Susah lah, gimana ngitungnya?”. ”Ya tapi gimana rumusnya? Gak bisa lah.” Sebagai upaya terakhir sang ayah memberikan kata kunci ‘Pytagoras’. Barulah kedua anak itu mulai mengerti: “Ooo iya, bisa, kalau pake rumus Pytagoras di bidang bantu”, Komentar si kakak: “Oooh itu tokh gunanya Pytagoras!”
Tragis. Rumus dihafal bagai mantra tanpa guna, sebaliknya giliran harus mengaplikasikan malah kebingungan.
Itu contoh kecil betapa nalar anak-anak kita sudah sangat tertekan oleh beban jutaan soal mati yang harus dihafal di luar kepala sehingga pada saat nalar seharusnya berjalan mengisi proses kreatif ternyata nalarnya sudah “heng”.
Jurus ‘shortcut’ pendidikan dengan cara menghafal soal diperkuat lagi dengan fenomena baru ini: Pesantren Bimbel (Bimbingan Belajar). Hebatnya, pesantren kilat yang digelar bimbel-bimbel kelas nasional ini hanya berlangsung beberapa pekan sebagaimana pesantren kilat, namun harganya……ck…ck…ck…..seharga motor baru bukan mocin. Terbilang (menurut harian Republika Ahad 25 Mei) antara 12 juta-an sampai 22 juta-an rupiah. Fantastis! Itu baru Bimbelnya, belum uang masuknya ke perguruan tinggi.
Seorang dosen kepala jurusan di sebuah perguruan tinggi utama di negeri ini ikut komentar terhadap fenomena ini: “Memang pola pendidikan di sekolah-sekolah kita patut sangat disayangkan. Terbukti kita-kita sebagai dosen mengalami sendiri bagaimana susahnya mengajak mahasiswa kita untuk sampai kepada nalar yang kita inginkan. Masa’ iya sudah kuliah masih terpikir nyontek, sampai ke skripsi, inginnya plagiat!”
Begitulah, ketika apa yang cuma asesoris dianggap sebagai tujuan. Ketika gelar yang sebenarnya hanya cap untuk mengenali seberapa tingkat pendidikan seseorang justru dijadikan sebagai tujuan pendidikan. Walhasil kita sebagai bangsa dan ummat tak akan berhasil mencetak manusia berpendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri. Tapi yang kita cetak hanyalah sejumlah manusia bergelar yang belum tentu punya nalar.
Di lapangan, berderet-deret antrian sarjana pencari kerja, sementara yang dicari oleh penyedia lapangan kerja adalah manusia-manusia kreatif yang mampu mengangkat performa perusahaan di tengah kemelut susahnya ekonomi. Alasan penolakan perusahaan selalu sama “belum ada pengalaman kerja”. Artinya sarjana yang lulus belum dianggap lulus oleh pihak yang akan memakai jasa mereka.
Debat seputar ini akan tak ada habisnya jika tak langsung ke akar masalah.
Pendidikan seharusnya mengacu kepada kesuksesan anak didik menjadi orang yang berguna.
Kata Nabi SAW: “Khoirukum, an fa’ul linnas”. Sebaik-baik kalian adalah yang paling bermanfaat. Kualitas sebagai orang bermanfaat inilah yang seharusnya dijadikan tolok ukur keberhasilan, bukannya sederet angka dan rangking. Bahkan bagi ummat Islam sudah ada konsep “” yaitu pahala. Kebaikan dan manfaat dalam Islam dengan mudah dinilai dari pahala yang dijanjikan Allah SWT.
Apa keuntungannya jika kita mau memakai tolok ukur manfaat ini? Ada banyak.
  1. Anak didik akan terdorong untuk menjadi orang yang berguna buat orang lain, yang berarti Insya Allah akan jauh dari sifat egois.
  2. Untuk menjadi orang yang bermanfat, seseorang perlu mengeksplorasi dirinya dan mencari apa kelebihan dirinya dan tidak fokus pada kekurangan dirinya. Artinya ia akan punya kepribadian kuat. Seorang yang selalu mengasihani dirinya dan berkepribadian lemah tak sanggup berpikir untuk menjadi berguna bagi orang lain.
  3. Untuk menjadi orang bermanfaat, seseorang akan melalui proses inisiatif dan kreatif. Artinya kita akan kebanjiran pribadi-pribadi yang penuh inisiatif dan siap menjadi pemimpin sambil tetap mempunyai semangat kreatifitas karena ingin orisinal.
  4. Itu juga Insya Allah akan membuat bangsa ini dibanjiri para inventor karena ingin menjadi orang-orang yang banyak pahala jariyahnya dengan menemukan hal-hal baru yang akan mendapat pahala terus menerus selama penemuannya masih digunakan orang di muka bumi.
Mungkin masih banyak yang perlu dibicarakan. Insya Allah masih ada umur untuk menyambungnya. Tetapi setidaknya, bukankah memang sudah saatnya kita memikirkan kembali berbagai paradigma yang saat ini dianut oleh dunia pendidikan kita. (SAN)