Minggu, 06 Februari 2011

Labeling

Oleh : Muhammad Imam Najmudin

Add caption
Bodoh sekali kamu, soal mudah saja nggak bisa mengerjakan, gimana kamu mau jadi dokter ?!..., Aduh ....ini anak malas banget!, Pusing-pusing .... punya anak seperti kamu sudah pemalu, susah diatur, cengeng lagi !, diiqob saja pak anak saya dasar cah angel diatur!, dasar anak bandel!, dasar anak nakal!...atau kamu pintar! Kamu cerdas! Duh ...anak mama pintar sekali.
Ya ...barangkali kita tidak asing lagi dengan kalimat di atas atau mungkin kalimat yang lebih buruk dari itu, di mana kalimat tersebut kadang sadar atau tidak sadar telah diucapkan oleh guru dan orang tua kepada anaknya, kalimat yang setiap anak risih untuk mendengarnya atau merasa sakit hati jika kalimat tersebut ditujukan kepada dirinya, kalimat ini sering disebut dengan kalimat negatif. Sedangkan kalimat yang bersifat memuji tentang kehebatan, kepatuhan atau kecerdasan anak, sering disebut dengan kalimat positif. Semua kalimat negatif dan positif yang selalu kita ucapkan kepada anak bisa disebut labeling.
Labeling adalah sebuah proses melabeli seseorang. Label, menurut Merriam-Webster adalah deskripsi atau identifikasi melalui kata atau frase. Label diberikan kepada anak untuk mendeskripsikan beberapa perilaku yang dimiliki anak. Sedangkan lebel menurut yang tercantum dalam A Handbook for The Study of Mental Health adalah sebuah definisi diri orang tersebut dan menjelaskan orang tipe bagaimanakah dia. Dengan memberikan label pada diri seseorang, kita cenderung melihat dia keseluruhan kepribadiannya dan bukan pada perilaku satu persatu sehingga dapat berpengaruh kepada perilaku anak di masa yang akan datang.

Label Negatif
Masalah yang terjadi dalam pemberian label terhadap perilaku anak adalah anak cenderung berperilaku sesuai label yang diberikan kepada mereka terutama jika label dikuatkan oleh lingkungan sekitar yang bertindak seolah-olah bahwa label tersebut benar. Akibatnya akan baik jika label yang diberikan positif sehingga anak akan berperilaku sesuai harapan yang diberikan lingkungan mereka, namun akan berakibat buruk jika label yang diberikan negatif, ini memungkinkan anak bertindak melebihi label yang diberikan kepada mereka seperti” toh saya sudah dicap nakal, jadi sekalian saja saya nakal’.

Pengaruhnya Terhadap Anak
Dalam terori labeling ada satu pemikiran dasar, dimana pemikiran tersebut menyatakan “ Seorang yang diberi label sebagai seorang yang pemalu, dan diperlakukan seperti orang pemalu, akan menjadi pemalu”. Penerapan dalam teori ini adalah bahwa anak yang diberi label bandel, dan diperlakukan seperti anak bandel, akan menjadi bandel betulan, atau penerapan lain anak yang diberi label bodoh, dan diperlakukan seperti anak bodoh, akan menjadi bodoh betulan atau mungkin sebaliknya jika anak yang diberi label cerdas, dan diperlakukan seperti orang cerdas, akan menjadi cerdas betulan.
Pemikiran dasar teori labeling ini memang biasa terjadi, ketika kita sudah melabeli seseorang kita cenderung memperlakukan seseorang itu sesuai dengan label yang kita berikan. Misalnya, seorang anak yang diberi label bodoh cenderung tidak diberi tugas yang menantang dan punya tingkat kesulitan di atas kemampuannya karena kita berfikir “ ah paling-paling dia tidak bisa kan dia bodoh percuma saja dikasih soal yang sulit”. Sedangkan Menurut Mary Sheedy Kurcinka, penulis buku Raising Your Spirited Child (Harper Collins, 1992), label negative dapat membuat anak kesulitan membangun self-esteem yang baik. Kurcinka juga berpendapat bahwa labeling tidak hanya berpengaruh terhadap perilaku anak tapi juga perlakuan guru dan orang tua itu sendiri. Sehingga hal ini menjadi siklus melingkar yang berulang-ulang juga semakin saling menguatkan secara terus menerus dan pada akhirnya akan membentuk sebuah konsep diri yang negatif.
Konsep diri yang negatif akan berdampak pada perasaan anak dimana anak merasa dirinya tidak berharga, tidak dicintai, sehingga akan cenderung memilih jalan yang mudah, tidak berani mengambil resiko dan tetap saja tidak berprestasi. Bagi banyak orang (termasuk anak-anak) pengalaman mendapatkan label tertentu (terutama yang negatif) memicu pemikiran bahwa dirinya ditolak. Pemikiran bahwa dirinya ditolak dan kemudian dibarengi oleh penolakan yang sesungguhnya, dapat menghancurkan kemampuan berinteraksi, mengurangi rasa harga diri, dan berpengaruh negatif terhadap kinerja seseorang dalam kehidupan sosial baik di masyarakat ataupun di sekolah

Label Positif pun perlu diwaspadai
Setelah mengetahui pengaruh buruk dari pemberian label negatif lantas kita berpikir kalau begitu kita beri label yang positif saja seperti kamu emang pintar, cerdas menyenangkan dan sejenisnya. Dengan demikian anak akan menjadi pintar, cerdas dan menyenangkan. Tapi perlu diingat bahwa pemberian label positif yang tidak tepat akan menimbulkan dampak yang sama tidak baiknya. Selain membuat anak jadi sombong atau angkuh ia pun tak bisa menerima kekurangan dan kelemahan dirinya. Akibatnya bukan tak mungkin anak gampang frustasi dan tak memiliki kepercayaan diri.

Bagaimana sebaiknya?
Yang terbaik, berikan pujian sesuai tingkah laku anak. Jika anak memang memiliki perilaku positif, semisal anak mau mengerjakan PR pujialah perilakunya itu saja “ Pak Guru senang kamu mengerjakan PR”. Sebaliknya, bila anak menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan, tegurlah dengan lembut dan jelaskan bahwa perilakunya salah. Contoh, anak terlihat memukul temannya ketika bermain, jangan lantas berkata, “ mas, kamu kok nakal banget, sih !” Akan tetapi, katakan, “ mas, teman mu jangan dipukul. Kasihan, dia kesakitan, tuh.” Dengan begitu anak tahu memukul adalah perbuatan salah.

Saran Bagi Orantua
Adalah penting bagi anak untuk merasa bahwa dirinya berharga dan dicintai. Perasaan ini diketemukan oleh sang anak lewat respon orang-orang sekitarnya (lingkungan), terutama orang terdekat yaitu : orangtuanya. Kalau respon orangtua positif tentunya tidak perlu dicemaskan akibatnya. Tetapi, adakalanya kita sebagai orangtua tidak dapat menahan diri, sehingga dengan mantapnya memberikan respon-respon negatif seputar perilaku anak. Walaupun sesungguhnya kita sebagai orangtua tidak bermaksud buruk dengan respon tersebut, namun tanpa disadari hal-hal yang dikatakan orangtua dan bagaimana orangtua bertindak, masuk dalam hati dan pikiran seorang anak akan berpengaruh dalam kehidupannya.

Beberapa Saran Bagi Orangtua dan Guru
Pada bagian penutup ini ada beberapa saran yang bisa dilakukan orang tua dan guru dalam bersikap dan bertindak kepada anak. Yang pertama adalah berilah respon secara spesifik terhadap perilaku anak, dan bukan kepribadiannya. Kalau anak bertindak sesuatu yang tidak berkenan di hati, jangan merespon dengan memberi label, karena melabel berarti menunjuk pada kepribadian anak, seperti sesuatu yang diberi dan tidak bisa lagi diperbaiki. Contoh : Kalau anak tidak berani menghadapi orang baru, jangan katakan : "Aduh...kamu pemalu sekali", atau "Jangan penakut begitu dong Nak!", tetapi berilah respon dengan mengatakan : "Tidak kenal ya denga tante ini, jadi tidak mau menyapa. Nah...sekarang kenalan dulu dengan tante. Kalau besok ketemu dengan tante kamu, bisa menyapanya". Kalau anak nakal (naughty), jangan katakan bahwa dia nakal tapi katakan bahwa perilakunya salah (misbehave). Anak-anak sering berperilaku salah, salain karena mereka memang belum mengetahui semua hal yang baik-buruk, benar-salah, boleh-tidak, mereka juga suka menguji batas-batas dari orangtuanya. Misalnya, kakak merebut mainan adik, katakan : "Kakak, merebut mainan orang itu salah, tidak boleh begitu. Kalau main sama adik gantian ya", dan bukan mengatakan : "kakaaaaak...!, nakal sekali sih merebut mainan adiknya". Dengan demikian tidak ada pesan dan kesan negatif yang masuk dalam pikiran anak, dan bahkan anak didorong untuk mau bertindak benar di waktu berikutnya.
Yang kedua adalah gunakan label untuk kepentingan pribadi orangtua. Sebenarnya melabel tidak selamanya buruk, asalkan label tersebut digunakan orang tua dan guru untuk dirinya sendiri, agar lebih memahami dinamika perilaku anak. Misalnya : "Anakku A lebih bodoh daripada anaku B". Tapi label tersebut tidak dikatakan di depan anak. Dengan mengetahui dinamika anak lewat label yang ada dalam pikiran orangtua sendiri, hendaknya orangtua dan guru menggunakan label tersebut untuk menyusun strategi selanjutnya, agar kekurangan anak dapat diperbaiki. Misalnya, setelah mengetahui A lebih bodoh daripada B, maka orangtua dan guru memberikan lebih banyak waktu untuk mengajarkan sesuatu dan mempersiapkan diri untuk lebih sabar jika menghadapi A.
Yang ketiga adalah menarik diri sementara jika sudah tidak sabar. Adakalanya orangtua jika sudah tidak sabar selalu ingin melabel anaknya, misalnya : "Heeeeeeh...!, kamu goblok banget sih, 1+1 saja tidak tahu". Jika kesabaran sudah diambang batas, sebelum kata-kata "mutiara" keluar, ada baiknya orangtua menarik diri sementara dari anak, (time off) dengan alasan tertentu.
Bagaimana cara orangtua dan guru berbicara dan menanggapi kekurangan-kekurangan yang ada pada diri anak, akan sangat berpengaruh bagi anak sepanjang hidupnya. Oleh karena itu orangtua dan guru harus sangat berhati-hati dan mempertimbangkan secara matang apa yang akan diucapkan pada anak. Ada pepatah jaman dulu kala mengatakan "Mulutmu Harimaumu", yang dalam hal ini mulut orantua bisa menjadi harimau bagi anak. Penting sekali orangtua selalu berkata-kata positif tentang anak, agar anak jadi berpikir positif tentang dirinya dan tumbuh dengan harga diri yang tinggi dilingkunganya, perasaan dicintai dan diterima oleh orang-orang disekitarnya. Wallahu A’lam.
Diambil dari berbagai sumber

Artikel selengkapnya download disini 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar