Selasa, 08 Februari 2011

Sejarah Kurikulum Indonesia

Negara yang maju adalah negara yang memiliki sebuah sistem pendidikan yang baik. Sedangkan parameter pendidikan yang baik bisa dilihat dari kurikulumnya., karena kurikulum merupakan bagian terpenting dari sebuah sistem  pendidikan di mana setiap  orang pasti melihat maju tidaknya sebuah sekolah dilihat dari kurikulumnya, bahkan orang tuapun jika mau menyekolahkan anaknya pasti memperhatikan kurikulum yang dipakai oleh sekolah tersebut. Hal ini bisa kita lihat dari sekolah yang maju atau faforit pasti setiap tahunnya dipenuhi oleh para pendaftar. Kalau diselidiki lagi lebih lanjut sekolah tersebut selalu mengadakan inovasi dalam rangka menyempurnakan kurikulumnya, begitu juga dengan bangsa ini yang sudah beberapa kali berganti kuriulkum. klik disini http://www.ziddu.com/download/14437842/PERUBAHANKURIKULUM.doc.html
Perubahan   kurikulum yang  ada di Indonesia klik disini mau tidak mau harus dilakukan karena salah satu konsep terpenting untuk maju adalah “melakukan perubahan”, tentu yang kita harapkan adalah perubahan untuk menuju perbaikan sedangkan  sebuah perubahan selalu di sertai dengan konsekuensi-konsekuensi yang sudah selayaknya di pertimbangkan agar tumbuh kebijakan yang menuju kepada perbaikan. Perkembangan kurikulum bangsa ini bisa kita telusuri berikut ini:

Kurikulum Leer Plan 1947
Kurikulum ini adalah kurikulum  pertama yang lahir pada masa kemerdekaan. Yang  memakai istilah  dalam bahasa belanda artinya rencana pembelajaran, istilah ini lebih populer dari bahasa inggris yaitu curriculum. Perubahan kisi-kisi pendidikan lebih bersifat politis: dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Asas pendidikan ditetapkan Pancasila. Kurikulum ini (Rencana Pelajaran 1947) baru bisa dilaksanakan sekolah-sekolah pada 1950. Sejumlah kalangan menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950. Bentuknya memuat dua hal pokok. Pertama adalah daftar mata pelajaran, yang kedua  jam pengajarannya, di tambah dengan garis-garis besar pengajaran. Rencana Pelajaran 1947 tidak menekankan pada pendidikan pikiran. Tetapi yang  diutamakan adalah  pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat. Sedangkan  materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.

Kurikulum Leer Plan Terurai 1952
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952.  Kurikulum ini lebih terinci dari kurikulm sebelumnya, karena silabus mata pelajarannya sangat jelas sekali dan seorang guru hanya  mengajar satu mata pelajaran. Hal ini disampaikan oleh  Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode 1991-1995. Ketika itu, di usia 16 tahun Djauzak adalah guru SD Tambelan dan Tanjung Pinang, Riau.


Kurikulum Rencana Pendidikan 1964
Kurikulum ini muncul di penghujung era presiden Soekarno. Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964 fokusnya pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Pancawardhana). Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis. Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah.

Kurikulum 1968
Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis karena sebagai pengganti produk orde lama.  Tujuannya dari kurikulum ini adalah pada pembentukan manusia Pancasila yang sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi. Sedangkan  materi pelajaran berjumlah 9  yang  terdiri dari  kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Djauzak menyebut Kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat. “Hanya memuat mata pelajaran pokok-pokok saja,” katanya. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi apa saja yang tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan.

Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. “Yang melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang terkenal saat itu,” kata Drs. Mudjito, Ak, MSi, Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas. Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru dibikin sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.

Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). Tokoh penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang juga Rektor IKIP Jakarta — sekarang Universitas Negeri Jakarta — periode 1984-1992. Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah. penolakan terhadap kurikulum inipun CBSA bermunculan. Bahkan adan yang membuat plesetan Cah Bodoh Saya Akeh.

Kurikulum  1994 dan Kurikulum  1999
Kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. “Jiwanya ingin mengkombinasikan antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984, antara pendekatan proses,” kata Mudjito menjelaskan. Sayang, perpaduan tujuan dan proses belum berhasil. Kritik bertebaran, lantaran beban belajar siswa dinilai terlalu berat. Dari muatan nasional hingga lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesakkan agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Walhasil, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum 1999. Tapi perubahannya lebih pada menambal sejumlah materi.

Kurikulum  2004
Bahasa kerennya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran diurai berdasar kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Sayangnya, kerancuan muncul bila dikaitkan dengan alat ukur kompetensi siswa, yakni ujian. Ujian akhir sekolah maupun nasional masih berupa soal pilihan ganda. Bila target kompetensi yang ingin dicapai, evaluasinya tentu lebih banyak pada praktik atau soal uraian yang mampu mengukur seberapa besar pemahaman dan kompetensi siswa. Meski baru diujicobakan, toh di sejumlah sekolah kota-kota di Pulau Jawa, dan kota besar di luar Pulau Jawa telah menerapkan KBK. Hasilnya tak memuaskan. Guru-guru pun tak paham betul apa sebenarnya kompetensi yang diinginkan pembuat kurikulum. (sumber: depdiknas.go.id)

KTSP 2006
Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan. Muncullah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Pelajaran KTSP masih tersendat. Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004. Perbedaan yang paling menonjol adalah guru lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan karangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Jadi pengambangan perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah koordinasi dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota. (TIAR)
Source: http://kesadaransejarah.blogspot.com/2007/11/kurikulum-pendidikan-kita.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar