Kamis, 10 Februari 2011

“ Renungan" bagi Anak Terhadap Orang Tua

Oleh : Muhammad Imam Najmudin


Terkadang tanpa sadar kita melupakan begitu saja  sikap, perbuatan  dan perlakuan kita kepada orang lain atau kepada saudara kita atau mungkin kepada  orang yang berjasa dalam  melahirkan  kita  di dunia ini yaitu  ibu dan  bapak kita. Terkadang kita memperlakukan  ibu kita ibarat seorang pembantu yang dengan entengnya tanpa dosa kita menyuruh  beliau untuk bersih-bersih atau mengasuh anak kita. Mungkin saja kita merasa toh  itu orang tua saya sendiri lagipula yang diasuhkan cucunya sendiri. 
Bapak dan ibu adalah dua sosok yang seharusnya kita muliakan, kita hormati dan kita perlakukan bak laksana seorang raja dan permaisurinya. Yang kita siap sedia membantu meringankan  beban hidupnya, meringankan pekerjaannya bukan malah sebaliknya kita membuat mereka seolah-olah tak berhenti bekerja. Dikala kita masih dikandungan mereka dengan ikhlas merawat kita, membawa kita kemanapun mereka pergi walupun dengan beban yang sangat berat. Belum lagi   ketika mau melahirkanpun  seorang ibu berjuang antara hidup dan mati untuk bisa melahirkan kita ke dunia ini
Setelah lahir dengan selamat kitapun disambut dengan riang gembira, tanpa merasakan lagi sakit yang amat sangat. Seolah-olah sakit yang baru saja ia rasakan sudah sembuh dengan kehadiran kita. Belum lagi kekhawatiran kedua orang tua kita ketika usia kita menginjak dewasa merekapun dengan susah payah mencarikan uang untuk menyekolahkan kita bila perlu mencarikan lembaga  pendidikan yang faforit atau yang bisa membuat kehidupan kita  lebih baik dari kehidupan yang sedang mereka jalani saat ini.
Bahkan untuk seorang anaknya seorang ibu atau ayah rela untuk mengorbankan semua harta bendanya dikala kita sakit atau  disaat kita membutuhkan  uang  untuk melanjutkan sekolah, mereka dengan rela menjual rumah yang menjadi tempat tinggal satu-satunya bagi mereka asalkan anaknya bisa  sukses dan berhasil.
Begitu besar pengorbanan orang tua kepada kita tapi balasan bagi mereka  malah sebaliknya.  Benarlah  apa yang dikatakan   Peribahasa Indonesia  “ air susu dibalas dengan air tuba”. Ayah dan ibu kita menyayangi kita sepenuh hati tapi kita menyanginya separoh hati. Malah kadang ada seorang pasangan suami istri yang tidak mau hidup dengan mertuanya atau kedua orang tuanya dikarenakan takut akan terjadi konfilk bahkan mereka sangat ketakutan sekali sehingga ketakutan mereka bisa  diibaratkan  seperti ketakutan tikus  bertemu dengan anjing bila hidup serumah dengan kedua orang tua atau  mertuanya. Tapi ada juga yang sebaliknya, mereka senang hidup dengan kedua orang tuanya. Dengan begitu  mereka dapat bersenang senang tanpa diganggu oleh anak-anaknya karena anaknya sudah diasuh oleh orang tuanya atau dengan kata lain baby sister gratisan. Ada lagi pasangan suami istri yang ketika orang tuanya mau pinjam uang,  pasangan tersebut tidak mau meminjamkan uangnya padahal orang tuanya sangat membutuhkan sekali untuk biaya makan sehari-hari  bahkan dengan angkuhnya mereka berkata : “ untuk makan sendiri saja sudah habis banyak malah mau dipinjam” padahal baru dua hari yang lalu mereka beli kulkas. Mana balas budi kita kepada orang tua kita….?!  mana susu yang kita minum yang diberikan oleh ibu kita dengan ikhlas tanpa minta imbalan sedikitpun..?! mana bubur yang selalu kita makan setiap hari, mana baju yang kita pakai setiap hari, mana uang sekolah dan   uang  jajan yang kita pakai untuk kesenangan kita dan mana  ….(masih banyak lagi) yang seandainya bapak ibu kita minta imbalan tentu kita tidak bisa membalasnya walaupun dengan uang ratusan milyar sekalipun. Sungguh ironis sekali seorang anak  yang sudah mempunyai pengahasilan dipinjami uang sama kedua orang tuanya kemudian tidak meminjaminya dengan berbagai alasan adalah sebuah bentuk kedurhakaan yang nyata.
Salah satu bentuk kedurhakaan seorang anak terhadap orang tuanya adalah menempatkan orang tua terpisah dari rumah kita, sebagai contoh kita mempunyai rumah dengan  beberapa kamar tetapi orang tua kita malah  ditempatkan dibelakang sendiri terpisah dengan rumah kita dengan alasan “ toh mereka sudah tua tidak butuh apa-apa atau alasan akan merusak keindahan rumah, atau dengan alasan akan mengotori ruangan  atau nanti merusak barang-barang antik yang kita miliki “ atau dengan alasan-alasan lain yang dibuat-buat. Bagi mereka yang  mempunyai anak dan  hidup didalamnya  kedua orang tua atau mertua, hati-hati dengan perlakuan kita kepada kedua orang tua atau mertua, karena perlakuan kita kepada kedua orang tua akan berdampak kepada perlakuan anak kita kepada kita. Sebagai contoh kalau kita memuliakan kedua orang tua maka kitapun akan dimuliakan oleh anak kita, kalau kita memperlakukan kedua orang tua kita laksana raja dan permaisurinya maka kitapun akan diperlakukan laksana raja dan permaisuri atau sebaliknya bila kita menghinakan kedua orang tua, maka kita akan dihinakan oleh anak kita, bila kita menyakiti kedua orang tua maka siap-siaplah kita akan disakiti oleh anak kita. Untuk mengakhiri tulisan ini alangkah baiknya kita membaca kisah berikut ini
Di suatu senja, duduklah seorang ibu yang sedang membantu anak-anaknya mengulang-ulang pelajaran mereka. Sang ibu memberi putra kecilnya yang berusia 4 tahun sebuah buku gambar agar tidak mengganggunya dalam memberikan keterangan terhadap pelajaran saudara-saudaranya yang lain. Tiba-tiba sang ibu teringat bahwa dia belum menghadirkan makan malam untuk ayah suaminya (mertuanya), seorang yang sudah lanjut, dan hidup bersama mereka di sebuah kamar di luar bangunan rumah, yaitu di pelataran rumah. Adalah sang ibu melayaninya sesuai dengan kemampuannya, dan sang suami ridha dengan pelayanan terhadap ayahnya yang tidak meninggalkan kamarnya karena kesehatannya yang lemah. 
Sang ibupun cepat-cepat memberi sang mertua makanan. Dan bertanya kepadanya, apakah sang ayah membutuhkan pelayanan lain, lalu dia pergi meninggalkannya. Saat dia kembali ke tempatnya bersama dengan putra-putranya, dia memperhatikan bahwa anak bungsunya tengah menggambar lingkaran dan persegi. Dan meletakkan di dalam lingkaran dan persegi tersebut simbol-simbol. Maka sang ibupun bertanya: Apa yang kamu gambar? Dia menjawab dengan penuh kecerdasan: "Sesungguhnya aku tengah menggambar rumahku yang nanti aku akan tinggal di dalamnya saat aku dewasa dan menikah." Jawaban si anak menggembirakan sang ibu. Lalu sang ibu bertanya: Di mana engkau akan tidur?" Si anakpun memperlihatkan kepada sang ibu setiap persegi dan berkata: "ini adalah kamar tidur....ini dapur ... ini ruang tamu.." Dia menghitung-hitung apa saja yang dia ketahui dari ruang ruang di rumah. Lantas dia meninggalkan satu kotak persegi yang sendirian di luar daerah yang telah dia gambar yang mencakup keseluruhan kamar. Sang ibu pun terheran, dan berkata: "Lalu mengapa kamar ini ada di luar rumah? Terpisah dari kamar kamar yang lain? Si anak menjawab: "Kamar tersebut untuk ibu, aku akan meletakkan ibu di sana, ibu akan hidup di sana sendirian sebagaimana kakekku yang sudah tua."
Sang ibupun terkejut dengan apa yang dikatakan oleh putranya!!! "Apakah aku akan sendirian di luar rumah di pelataran rumah tanpa bisa bersenang-senang dengan berbicara bersama anak-anakku? Aku tidak bisa berbahagia dengan ucapan ucapan mereka, kebahagiaan mereka,dan permainan mereka saat aku lemah, tidak mampu menggerakkan tubuh? Siapa yang aku ajak bicara saat itu? Apakah aku akan menghabiskan sisa umurku sendirian di antara empat dinding tanpa bisa mendengar suara anggota keluargaku??
Maka sang ibu cepat-cepat memanggil pembantu, kemudian dengan cepat memindah perabotan ruang tamu yang biasanya merupakan ruang yang paling baik, kemudian menghadirkan ranjang ayah suaminya, lalu memindah perabotan ruang tamu ke dalam kamar sang kakek di pelataran rumah.
Di saat sang suami pulang, dia terperanjat dengan apa yang dia lihat, dan takjub, lalu bertanya apa penyebab perubahan ini? Sang istri menjawab dengan air mata yang berlinangan di kedua matanya: "Sesungguhnya aku memilih ruang yang paling indah untuk kita hidup didalamnya jika Allah memberikan kepada kita umur sampai usia lanjut yang lemah untuk bergerak. Dan biarlah tamu berada di ruang luar di pelataran rumah."
Sang suamipun faham apa yang dimaksud oleh sang istri, lalu memuji perbuatannya terhadap ayahnya yang tengah melihat kepada mereka dengan senyuman dan pandangan mata keridhaan. Sementara sang anak... dia menghapus gambarnya... dan tersenyum.  Sumber kisah ini diambil dari majalah qiblati edisi 11 tahun 2009. Itulah kisah yang begitu menggetarkan hati penulis sehingga dalam hati timbul pertanyaan “ apakah kita masih pikir-pikir untuk memuliakan kedua orang tua ataukah kita takut kalau seandainya kedua orang tua ikut dengan kita ? atau kita masih pelit untuk meminjami uang untuk  orang tua kita? Terserah kepada pembaca semua, yang jelas Apa yang kita berbuat/lakukan untuk kedua orang tua itulah yang akan kita dapat dari anak kita. Semoga bermanfaat. Wallahua’lam 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar